Wednesday, February 6, 2019

TABIIN DAN TABAQAH


Latar Belakang
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
Setelah masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, pengajaran Islam dilanjutkan kalangan sahabat. Para sahabat ini berdiaspora ke berbagai daerah, baik untuk berdakwah maupun tugas kekhalifahan. Mereka berjumpa dengan generasi selanjutnya yang tidak berjumpa Nabi semasa hidupmelanjutkan dakwah dan ajaran Islam.
Generasi setelah sahabat ini disebut tabi’in. Menurut ulama hadits, semisal seperti dicatat oleh Imam as Suyuthi dalam Tadribur Rowi, definisi tabi’in yang masyhur adalah: orang-orang yang berjumpa dengan sahabat dalam keadaan Muslim, serta wafat juga dalam keadaan Muslim.
Disebabkan sanad adalah salah satu elemen penting sebuah hadits, maka mengenal generasi tabi’in dan cara penyandaran hadits mereka kepada Nabi maupun generasi sahabat menjadi patut dicermati. Nabi Muhammad dan generasi sahabat yang notabene menjumpai beliau, dan mengamalkan Islam sebagaimana mereka ketahui sendiri dari Nabi, adalah rujukan berislam generasi setelahnya.
Ajaran-ajaran Nabi yang tercatat dalam hadits mesti dilakukan penelusuran riwayat, demi mengetahui keabsahannya. Ulama hadits dan sejarah menilai pentingnya membagi kelompok generasi sahabat, tabi’in, dan generasi-generasi setelahnya, salah satunya sebagai cara menilai kesahihan suatu hadits baik segi ketersambungan sanad atau pribadi perawinya.
Masa para tabi’in ini merentang dari pasca wafatnya Nabi, sampai sekitar 150 H. Pakar rijalul hadits atau biografi perawi membuat klasifikasi tentang tabi’in ini. Secara garis besar, pembagian tabiin ini dibagi menjadi generasi tabi’in tua (akbarut tabi’in) dan generasi tabi’in yang lebih muda (shigharut tabi’in) salah satunya berdasarkan kedekatan dengan masa Nabi.
Sosok tabi’in yang masyhur dari kalangan tua semisal Said bin Musayyib, Hasan Al Basri, dan Uwais al Qarni, yang di daerahnya masing-masing dinilai sebagai tabi’in paling istimewa.Kemudian dari golongan tabi’in muda yang lebih jauh dari masa Nabi, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas.
Tokoh yang membuat klasifikasi tabi’in antara lain Imam Muslim, Imam Ibnu Sa’ad, dan Imam al Hakim. Nama yang disebut terakhir membuat sampai 15 tingkatan tabi’in, dan di urutan pertama adalah tabi’in yang berjumpa sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga (al-‘asyarah mubasysyarun bil jannah).
Mengenali posisi generasi seorang perawi itu penting karena berkaitan erat dengan kesahihan hadits. Jika seorang pengkaji hadits belum mengidentifikasi tokoh perawi dalam sanad, maka penilaian atas hadits tersebut bisa kurang tepat.
Mengapa sedemikian urgen mengenal generasi ini? Terkait posisi tabi’in, dikenal istilah hadits mursal dan hadits maqthu’. Patut diketahui bahwa berdasarkan penyandarannya dalam sanad dan matan, hadits dibagi menjadi tiga: marfu’, yaitu hadits-hadits yang disandarkan pada Nabi; kemudian hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan kepada sahabat; dan kemudian hadits maqthu’, yang riwayatnya disandarkan pada perilaku tabi’in.Jika riwayat yang disandarkan kepada tabi’in ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan dengan Nabi atau generasi sahabat, maka mayoritas ulama tidak menjadikannya hujjah suatu hukum.
Meskipun generasi tabi’in hanya berselisih satu generasi dengan Nabi, namun karena masih terpaut kalangan sahabat, perkataan tabi’in yang disandarkan langsung kepada Nabi secara umum dinilai terputus sanadnya. Oleh para ulama hadits keadaan ini disebut hadits mursal, yaitu hadits yang perawi dari kalangan sahabat tidak disebutkan, dam kebanyakan ulama menilainya sebagai hadits dla’if. Demikian dari sudut pandang ilmu hadits, mengenal tabi’in itu penting .

Rentan Masa
Masa Tabi'in dimulai sejak wafatnya Sahabat Nabi terakhir, Abu Thufail al-Laitsi, pada tahun 100 H (735 M) di kota Mekkah; dan berakhir dengan wafatnya Tabi'in terakhir, Khalaf bin Khulaifat, pada tahun 181 H (812 M).
Setelah masa Tabi'in berakhir, maka diteruskan dengan masa Tabi'ut tabi'in atau generasi ketiga umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat.
Tabi’in menurut bahasa adalah jama’ dari kata tabi’ yang artinya pengikut. Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan sahabat, iman kepada Nabi saw dan meninggal dalam keadaan Islam. Tentang hal ini al-Khatib al-Baghdadi mensyaratkan adanya persahabatan dengan sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu Katsir, yang dinamakan tabi’in tidak cukup hanya pernah melihat sahabat, sebagaimana yang dinamakan sahabat cukup pernah melihat Nabi saw saja. Yang membedakan adalah keagungan dan kebesaran dari melihat Nabi saw. Namun menurut kebanyakan ahli hadis, yang dinamakan tabi’in ialah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan beriman meskipun tidak pernah bersahabat dengan sahabat dan tidak pula pernah meriwayatkan hadits dari sahabat.
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior) (Mudasir. 1999.93).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) (Mudasir. 1999.94).
Sesudah masa Khulafaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tata cara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan tabi’in yang berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani ummayah perluasan wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al Amshar). Terdapat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis yaitu madinah Al-Munawarah, Mekah Al-mukaramah, kufah, basrah, Syam, Mesir, magrib, andalas, yaman dan khurasan. Pusat pembinaan pertama adalah madinah karena di sinilah Rasullah SAW menetap dan hijrah serta membina masyarakat islam (Mudasir. 1999.94).
a.       Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah adalah sebagai berikut Mu’adz bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini adalah mujahid bin Jabar, Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah maula Ibnu Abbas (Mudasir. 1999.94).
b.      Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para tabi’in yang muncul disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakhai’, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’I, dan Abu Ishak As-Sa’bi (Mudasir. 1999.95).
c.       Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in yang muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah As-sudusi, dan Hisyam bin Hasan (Mudasir. 1999.95).
d.      Diantara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah Abu Ubaidah Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah al-muharibi, Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir. 1999.95).
e.       Diantara para sahabat yang membina hadis di mesir ialah Amr bin Al-as, Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin Sulaiman Ath-Thawil (Mudasir. 1999.95)
f.       Diantara para sahabat yang membina hadis di magrib dan andalus ialah Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim Al-muzaid. Para tabi’in yang munc ul disini adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi dan Muslim bin Yasar (Mudasir. 1999.95).
g.      Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman adalah Muadz bin jabal dan Abu Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul disini diantaranya adalah Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar bin Rasid (Mudasir. 1999.95).
h.      Diantara para sahabat yang membina hadis di kharasan adalah Abdullah bin Qasim Al-Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-Anshari, Yahyab bin Sabih Al-Mugari (Mudasir. 1999.95).

Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah terjadinya perang jamal dan perang suffin berakibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara langsung ataupun tidak pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya, baik pengaruh yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negatif adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut (Mudasir. 1999.96).

Tingkatan
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam karyanya Taqrib at-Tahdzib membagi para Tabi'in menjadi empat tingkatan berdasarkan usia dan sumber periwayatannya, yaitu:
  • Para Tabi'in kelompok utama/senior (kibar at-tabi'in), yang telah wafat sekitar tahun 95 H/713 M. Mereka seangkatan dengan Said bin al-Musayyab (lahir 13 H - wafat 94 H),
  • Para Tabi'in kelompok pertengahan (al-wustha min at-tabi'in), yang telah wafat sekitar tahun 110 H/728 M. Mereka seangkatan dengan Al-Hasan al-Bashri (lahir 21 H - wafat 110 H) dan Muhammad bin Sirin (lahir 33 H - wafat 110 H),
  • Para Tabi'in kelompok muda (shighar at-tabi'in) yang kebanyakan meriwayatkan hadis dari para Tabi'in tertua, yang telah wafat sekitar tahun 125 H/742 M. Mereka seangkatan dengan Qatadah bin Da'amah (lahir 61 H - wafat 118 H) dan Ibnu Syihab az-Zuhri (lahir 58 H - wafat 124 H),
  • Para Tabi'in kelompok termuda yang kemungkinan masih berjumpa dengan para Sahabat Nabi dan para Tabi'in tertua walau tidak meriwayatkan hadis dari Sahabat Nabi, yang telah wafat sekitar tahun 150 H/767 M. Mereka seangkatan dengan Sulaiman bin Mihran al-A'masy (lahir 61 H - wafat 148 H).
Mayoritas ulama penulis biografi para periwayat hadis (asma ar-rijal) juga membagi para Tabi'in menjadi tiga tingkatan berdasarkan Sahabat Nabi yang menjadi guru mereka, yaitu:[3]
  • Para Tabi'in yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam sebelum peristiwa Fathu Makkah,
  • Para Tabi'in yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam setelah peristiwa Fathu Makkah,
  • Para Tabi'in yang menjadi murid para Sahabat yang belum berusia dewasa ketika Nabi Muhammad wafat.
Tokoh Tabi'in
Di bawah ini adalah daftar beberapa tokoh Tabi'in yang ternama:

B.     THABAQAT
Thabaqat menurut bahasa ialah suatu kaum yang memiliki kesamaan dalam suatu sifat. Sedangkan menurut Muhadditsin ialah :
الطّبقة هي القوم المتعارضون اذا تشابهوا فى السّنّ وفى الاسناد (اي الاخذ عن المشايخ)
Thabaqah adalah suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan sanad, yakni pengambilan Hadits dari para guru
.
a.       Seperti halnya tarikh, thabaqat juga adalah bagian dari disiplin ilmu Hadits yang berkenaan dengan keadaan perawi Hadits. Namun keadaan yang dimaksud dalam ilmu thabaqat adalah keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud, antara lain:
Bersamaan hidup dalam satu masa.
b.      Bersamaan tentang umur.
c.       Bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya.
d.      Bersamaan tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya .
Kadangkala para Muhadditsin menganggap bahwa kebersamaan dalam menimba ilmu Hadits adalah cukup bisa dikatakan satu thabaqah. Sebab pada umumnya mereka memiliki kesamaan dalam umur.
Peneliti dan pengamat ilmu Hadits sangat dituntut untuk mengetahui tahun kelahiran dan kematian setiap rawi, murid-muridnya, dan guru-gurunya.
Kategoresasi bagi seorang rawi dalam suatu thabaqah bisa berbeda-beda, bergantung pada segi penilaian dan hal-hal yang mendasari kategorisasinya. Oleh karena itu, seringkali dua orang rawi dianggap berada dalam satu thabaqah karena memiliki kesamaan dalam satu segi, dan dianggap berada dalam thabaqah yang berlainan karena tidak memiliki kesamaan dalam segi lainya.
Anas bin Malik Al-Anshari beserta sahabat junior lain akan berada di bawah sekian thabaqah Abu Bakar dan sejumlah sahabat senior, bila dilihat dari segi waktu mereka masuk Islam, namun mereka dapat dianggap berada dalam satu thabaqah bila dilihat dari kesamaan mereka sebagai sahabat Nabi saw. Dengan demikian, seluruh sahabat adalah tabaqah rawi yang pertama, tabi’in menempati thabaqah kedua, atba’ al-tabi’in thabaqah yang ketiga, atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah keempat, dan atba’ atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini adalah thabaqah para rawi sampai turun ketiga, yakni akhir masa periwayatan .
Thabaqat juga bisa dijelaskan dengan pandangan-pandangan berikut:
a)      Sahabat-sahabat, kalau kita pandang sahabat-sahabat dari urusan persahabatan mereka dengan Nabi saw. saja, dengan tidak memandang pada urusan lain, maka mereka itu semuanya teranggap satu thabaqah.
b)      Sahabat ini juga, jika ditinjau dari urusan atau hal lain, maka mereka dibagi menjadi 12 thabaqat:
• Thabaqah I :Sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal di Mekah, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
• Thabaqah II :Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum orang-orang Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah.
• Thabaqah III :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Habasyah, seperti: Utsman, Abu Hurairah, Utbah, dan lainnya.
• Thabaqah IV :Sahabat-sahabat yang ikut berbai’at di Aqabah yang pertama, seperti: Ubadah bin Shamit dan lainnya.
• Thabaqah V :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Aqabah yang kedua, seperti: Sa’ad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, Rafi bin Malik dan lainya.
• Thabaqah VI :Sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama sampai di Quba’, sebelum masuk Madinah.
• Thabaqah VII :Sahabat-sahabat yang terlibat dalam perang Badar, seperti: Abu Zaid, Ubadah bin Shamit, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah dan lainnya.
• Thabaqah VIII :Sahabat-sahabat yang hijrah ke Madinah.
• Thabqah IX :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Bait al-Ridwan di Hudaibiah, seperti: Salamah bin Akwa dan Abu Sinan al-Asadi.
• Thabaqah X :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Madinah sesudah perjanjian Hudaibiah, seperti: Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
• Thabaqah XI :Sahabat-sahabat yang masuk Islam di masa penaklukan Mekah, seperti: Harits bin Hisyam dan Utsman bin Amr.
• Thabaqah XII :Anak-anak yang melihat Nabi SAW pada hari penaklukan Mekah, pada hari Haji Wada’, dan lainnya.
c. Tabi’in, kalau dilihat dari urusan mereka sebagai pengikut sahabat-sahabat Nabi saw. dengan tidak memandang pada urusan atau hal lainnya, maka mereka adalah satu thabaqah.

Tabi'in adalah jamak dari kata tabi'i atau tabi' yang berarti mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah Tabi'in adalah sebagai berikut :
هو من لقي صحابيا مسلما ومات على الإسلام
Adalah orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat dan mati dalam beragama islam.
Jumlah tabi'in tidak terhitung karena setiap orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat disebut tabi'in padahal shahabat yang ditinggalkan oleh rasulullah lebih dari seratus ribu orang. Para ulama juga berbeda dalam membagi thabaqat tabi'in tergantung dari segi tinjauan yang mereka pakai. Imam muslim misalnya membaginya kedalam tiga thabaqat, Ibn Sa'd membaginya 4 thabaqat, dan al-Hakim lebih banyak lagi yakni membaginya kedalam 15 thabaqat yang pertama  adalah orang yang bertemu dengan 10 orang yang digembirakan dengan  surga. Para ulama sepakat bahwa akhir masa tabi’in pada tahun 150 H dan akhir masa tabi’ tabi’in adalah 220 H. Tabi’in terakhir yang bertemu Abu Ath-Thufail Amir bin Watsilah di Mekah adalah Khalaf bin Khalifah (w. 181 H).[1][10]
Satu-satunya tabi'in yang berjumpa dengan 10 shahabat ahli surga itu ialah Qais bin Abi Hazim. Ibnu's-Shalah berkata bahwa Qais mendengar hadits dari 10 shahabat ahli surga tersebut dan meriwayatkannya. Tidak ada seorangpun tabi'ain yang meriwayatkan hadits dari 10 shahabat ahli surga, selain ia sendiri.
Menurut Hakim Abu Abdillah An-Naisabuy, selain Qais masih banyak tabi'in yang meiwayatkan dari shahabt sepuluh, seperti Utsman An-Nahdy, Qais bin Ubbad, Husain bin Al-Mundzir, Abi Wa'il dan Ibnu'l-Musayyab. Untuk yang terakhir ini banyak mendapat tantangan, disebabkan Ibnu'l-Musayyab itu baru dilahirkan pada waktu Khalifah Umar bin Khaththab menjabat Khalifah,. Dengan demikian sudah barang tentu ia tidak pernah bertemu dengan 10 shahabat yang telah wafat sebelum penobatan Umar bin Khaththab.
 Thabaqat terakhir, ialah mereka yang bertemu dengan Anas bin Malik, untuk yang berdiam di Bashrah, bertemu dengan Saib bin Yazid bagi mereka yang bertempat tinggal di Madinah, berjumpa dengan Abu Umamah bin 'Ajlan al-Bahily bagi mereka yang berdiam di Syam, bertemu dengan Abdullah bin Abi Aufa bagi mereka yang berdiam di Hijaz, dan berjumpa dengan Abu Thufail bagi mereka yang berdiam di Makkah.[2][11]
Dari segi masa hidupnya tabiin dapat dibagi menjadi tiga kategori (tingkatan), yaitu :
a.       Kibar  at-tabi’ỉn  (tabiin besar),  yaitu  tabiin yang  hidup s ebelum  akhir  abad pertama,  seperti  Ibrahim  bin  Yazid an - Nakha’i  (w. 95 H)   dan  Sa’id   bin Musayyab (15-94 H).
b.      Ausat at tabi’in (tabi’in pertengahan), yaitu  tabiin  yang  hidup antara awal dan pertengahan abad kedua, seperti Nafi Maula bin Amr (w.117H).
c.       Sigar at  tabiin  (tabiin kecil)  yaitu  tabiin  yang hidup sampai akhir abad kedua seperti Imam Asy Syafi’i.[3][12]
Di antara tabi’in yang paling utama menurut penduduk Madinah adalah Sa’id bin Al-Musayyah, menurut penduduk Kufah adalah Uways Al-Qarni, dan menurut penduduk Bashrah adalah Al-Hasan Al-Bashri.
Di antara mereka ada yang digolongkan mukhadramin (bentuk jamak) atau mukhadram adalah orang yang mendapati masa Jahiliyah dan masa Nabi, beriman kepada Nabi tetapi tidak melihatnya. Seperti Abu Raja’ Al-Utharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman An-Nahdi, dan Al-Aswad bin Yazid An-Nukha’i. Imam Muslim menghitung 20 orang, tetapi menurut pendapat yang shahih lebih dari 20 orang.[4][13]
Menurut Al-Hakim masa Thabaqat tabi’in berakhir setelah orang yang bertemu Sahabat terakhir meninggal dunia. Jadi, tabi’in terakhir ialah orang yang bertemu dengan Abu Thufail di Mekah dll.Khalaf bin Khalifah yang wafat pada tahun 181 H dianggap sebagai tabi’in yang terakhir yang meninggal dunia. Karena di Mekah ia bertemu dengan seorang Sahabat yang palling akhir wafat, yaitu Abu Thufail Amir bin Watsilah. Dengan ini dapat dikatakan bahwa pariode tabi’in berakhir 181 H.


Kitab-Kitab Thabaqah
1.      At-Thabaqatu’l-Kubra karya Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ Al-Hafidh Katib Al-Waqidy (168-230 H).
2.      Thabaqatu’r-Ruwah karya Al-Hafizh Abu ‘Amr Khalifah bin Khayyath Asy-Syaibani (240 H).
3.      Thabaqatu’t-Tabi’in karya Imam Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairy (204-261 H).
4.      Thabaqatu’l-Muhadditsin war Ruwah karya Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al-Ashbihany (336-430 H).
5.      Thabaqatu’l-Hufazh karya Al-Hafizh Syamsuddin Adz-Dzahaby (673-748 H).
6.      Thabaqatu’l-Hufazh karya Jalaluddin As-Suyuthy (849-911 H).[5][15]


BAB
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka.

DAFTAR PUSTAKA

[6][1] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al Ma’arif, 1974), h. 301.
[7][2] A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1987), h. 391.
[8][3] Op.cit, Fatchur Rahman, h. 301.
[9][4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 109-110.
[10][5] Op.cit, Fatchur Rahman, h. 304-305.
[11][6] Op.cit Abdul Majid Khon, h. 110.
[12][7] Syaikh Manna Al-Qaththan,  Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 79.
http://dhiandif.blogspot.com/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[13][8] Op.cit, Abdul Majid Khon, h. 111-112.
[14][9] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, tt), h 271-273.
[15][10] Op.cit, Abdul Majid Khon, h. 113
[16][11]
[17][12] http://kkgpaigarutkota.blogspot.com/2011/09/makalah-ulumul-hadis.html, diakses 29 April 2013, pukul 08.08. (terdapat foot note).
[18][13] Op.cit, Abdul Majid Khon, h. 113-114.
[20][15] Op.cit, Fatchur Rahman, h. 305-306.

http://ahmadfauzanelwahidi.blogspot.com/2011/05/thobaqot.html, diakses 29 April 2013, pukul 07.48. (terdapat foot note).






















No comments:

Post a Comment