Latar
Belakang
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan
bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para
sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah
masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an.
Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an,
selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an
di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan
al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan
dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi
mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Baru setelah beberapa dekade usai
wafatnya Nabi Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan
hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya
sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya
kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan
permasalahan.
Setelah
masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, pengajaran Islam
dilanjutkan kalangan sahabat. Para sahabat ini berdiaspora ke berbagai daerah,
baik untuk berdakwah maupun tugas kekhalifahan. Mereka berjumpa dengan generasi
selanjutnya yang tidak berjumpa Nabi semasa hidupmelanjutkan dakwah dan ajaran
Islam.
Generasi
setelah sahabat ini disebut tabi’in. Menurut ulama hadits, semisal
seperti dicatat oleh Imam as Suyuthi dalam Tadribur Rowi, definisi
tabi’in yang masyhur adalah: orang-orang yang berjumpa dengan sahabat dalam
keadaan Muslim, serta wafat juga dalam keadaan Muslim.
Disebabkan
sanad adalah salah satu elemen penting sebuah hadits, maka mengenal generasi
tabi’in dan cara penyandaran hadits mereka kepada Nabi maupun generasi sahabat
menjadi patut dicermati. Nabi Muhammad dan generasi sahabat yang notabene
menjumpai beliau, dan mengamalkan Islam sebagaimana mereka ketahui sendiri dari
Nabi, adalah rujukan berislam generasi setelahnya.
Ajaran-ajaran
Nabi yang tercatat dalam hadits mesti dilakukan penelusuran riwayat, demi
mengetahui keabsahannya. Ulama hadits dan sejarah menilai pentingnya membagi
kelompok generasi sahabat, tabi’in, dan generasi-generasi setelahnya, salah
satunya sebagai cara menilai kesahihan suatu hadits baik segi ketersambungan
sanad atau pribadi perawinya.
Masa
para tabi’in ini merentang dari pasca wafatnya Nabi, sampai sekitar 150 H.
Pakar rijalul hadits atau biografi perawi membuat klasifikasi tentang tabi’in
ini. Secara garis besar, pembagian tabiin ini dibagi menjadi generasi tabi’in
tua (akbarut tabi’in) dan generasi tabi’in yang lebih muda (shigharut
tabi’in) salah satunya berdasarkan kedekatan dengan masa Nabi.
Sosok
tabi’in yang masyhur dari kalangan tua semisal Said bin Musayyib, Hasan Al
Basri, dan Uwais al Qarni, yang di daerahnya masing-masing dinilai sebagai
tabi’in paling istimewa.Kemudian dari golongan tabi’in muda yang lebih jauh
dari masa Nabi, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas.
Tokoh
yang membuat klasifikasi tabi’in antara lain Imam Muslim, Imam Ibnu Sa’ad, dan
Imam al Hakim. Nama yang disebut terakhir membuat sampai 15 tingkatan tabi’in,
dan di urutan pertama adalah tabi’in yang berjumpa sepuluh orang yang
dikabarkan masuk surga (al-‘asyarah mubasysyarun bil jannah).
Mengenali
posisi generasi seorang perawi itu penting karena berkaitan erat dengan
kesahihan hadits. Jika seorang pengkaji hadits belum mengidentifikasi tokoh
perawi dalam sanad, maka penilaian atas hadits tersebut bisa kurang tepat.
Mengapa
sedemikian urgen mengenal generasi ini? Terkait posisi tabi’in, dikenal istilah
hadits mursal dan hadits maqthu’. Patut diketahui bahwa
berdasarkan penyandarannya dalam sanad dan matan, hadits dibagi menjadi tiga: marfu’,
yaitu hadits-hadits yang disandarkan pada Nabi; kemudian hadits mauquf,
yaitu hadits yang disandarkan kepada sahabat; dan kemudian hadits maqthu’,
yang riwayatnya disandarkan pada perilaku tabi’in.Jika riwayat yang disandarkan
kepada tabi’in ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan dengan Nabi atau
generasi sahabat, maka mayoritas ulama tidak menjadikannya hujjah suatu hukum.
Meskipun
generasi tabi’in hanya berselisih satu generasi dengan Nabi, namun karena masih
terpaut kalangan sahabat, perkataan tabi’in yang disandarkan langsung kepada
Nabi secara umum dinilai terputus sanadnya. Oleh para ulama hadits keadaan ini
disebut hadits mursal, yaitu hadits yang perawi dari kalangan sahabat
tidak disebutkan, dam kebanyakan ulama menilainya sebagai hadits dla’if.
Demikian dari sudut pandang ilmu hadits, mengenal tabi’in itu penting .
Rentan Masa
Masa Tabi'in
dimulai sejak wafatnya Sahabat Nabi terakhir, Abu Thufail al-Laitsi,
pada tahun 100 H
(735 M)
di kota Mekkah; dan berakhir dengan wafatnya Tabi'in terakhir, Khalaf bin Khulaifat, pada
tahun 181 H (812 M).
Setelah masa
Tabi'in berakhir, maka diteruskan dengan masa Tabi'ut
tabi'in atau generasi ketiga umat Islam setelah Nabi Muhammad
wafat.
Tabi’in menurut
bahasa adalah jama’ dari kata tabi’ yang artinya pengikut. Menurut istilah,
tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan sahabat, iman kepada Nabi saw
dan meninggal dalam keadaan Islam. Tentang hal ini al-Khatib al-Baghdadi
mensyaratkan adanya persahabatan dengan sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu
Katsir, yang dinamakan tabi’in tidak cukup hanya pernah melihat sahabat,
sebagaimana yang dinamakan sahabat cukup pernah melihat Nabi saw saja. Yang
membedakan adalah keagungan dan kebesaran dari melihat Nabi saw. Namun menurut
kebanyakan ahli hadis, yang dinamakan tabi’in ialah orang yang pernah bertemu
sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan beriman
meskipun tidak pernah bersahabat dengan sahabat dan tidak pula pernah
meriwayatkan hadits dari sahabat.
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M),
kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi
yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13
H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman
bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M).
keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau
al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Fazlur Rahman
menyebut sahabat senior) (Mudasir. 1999.93).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat,
maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa
itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan
dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi
yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar
peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu
Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah
bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78
H/697 M) (Mudasir. 1999.94).
Sesudah masa Khulafaur rasyidin,
timbulah usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan
hadits. Bahkan tata cara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan
tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk
meyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan
hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada
periode khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif
meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi
ciri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan
telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu
munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat
Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya.
Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa
kekhalifahan Daulah Umayyah.
Periwayatan yang dilakukan oleh
kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat,
karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya
persoalan yang dihadapi oleh kalangan tabi’in yang berbeda dengan yang dihadapi
para sahabat. Pada masa ini al-Quran sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan
para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam.
Sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika pemerintahan
dipegang oleh bani ummayah perluasan wilayah kekuasaan berkembang pesat dan
juga semakin meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut.
Sehingga pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis
(intisyar Ar-Riwayah lla Al Amshar). Terdapat beberapa kota yang menjadi pusat
pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadis yaitu madinah Al-Munawarah, Mekah Al-mukaramah, kufah, basrah,
Syam, Mesir, magrib, andalas, yaman dan khurasan. Pusat pembinaan pertama
adalah madinah karena di sinilah Rasullah SAW menetap dan hijrah serta membina
masyarakat islam (Mudasir. 1999.94).
a.
Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah
adalah sebagai berikut Mu’adz bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman
bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari
sini adalah mujahid bin Jabar, Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan
Ikrimah maula Ibnu Abbas (Mudasir. 1999.94).
b.
Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah
ialah Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara
para tabi’in yang muncul disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid
An-Nakhai’, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim
Ankha’I, dan Abu Ishak As-Sa’bi (Mudasir. 1999.95).
c.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah
ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar,
Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in yang
muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub As-sakhyatani,
Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah As-sudusi, dan Hisyam
bin Hasan (Mudasir. 1999.95).
d.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah
Abu Ubaidah Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal,
Sa’ad bin Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad
bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah
al-muharibi, Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir. 1999.95).
e.
Diantara para sahabat yang membina hadis di mesir
ialah Amr bin Al-as, Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin
Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin
Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin
Sulaiman Ath-Thawil (Mudasir. 1999.95)
f.
Diantara para sahabat yang membina hadis di magrib dan
andalus ialah Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim Al-muzaid.
Para tabi’in yang munc ul disini adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil, Abdurrahman
bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi
dan Muslim bin Yasar (Mudasir. 1999.95).
g.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman
adalah Muadz bin jabal dan Abu Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul disini
diantaranya adalah Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar
bin Rasid (Mudasir. 1999.95).
h.
Diantara para sahabat yang membina hadis di kharasan
adalah Abdullah bin Qasim Al-Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin
Sabit Al-Anshari, Yahyab bin Sabih Al-Mugari (Mudasir. 1999.95).
Pergolakan politik yang terjadi pada
masa sahabat yaitu setelah terjadinya perang jamal dan perang suffin berakibat
cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam menjadi beberapa
kelompok. Secara langsung ataupun tidak pergolakan politik tersebut memberikan
pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya, baik pengaruh yang bersifat
negatif maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negatif adalah
munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing
kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif
adalah terciptanya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau
tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai
akibat dari pergolakan politik tersebut (Mudasir. 1999.96).
Tingkatan
Imam Ibnu Hajar
al-Asqalani
dalam karyanya Taqrib at-Tahdzib membagi para Tabi'in menjadi empat
tingkatan berdasarkan usia dan sumber periwayatannya, yaitu:
- Para Tabi'in kelompok utama/senior (kibar at-tabi'in), yang telah wafat sekitar tahun 95 H/713 M. Mereka seangkatan dengan Said bin al-Musayyab (lahir 13 H - wafat 94 H),
- Para Tabi'in kelompok pertengahan (al-wustha min at-tabi'in), yang telah wafat sekitar tahun 110 H/728 M. Mereka seangkatan dengan Al-Hasan al-Bashri (lahir 21 H - wafat 110 H) dan Muhammad bin Sirin (lahir 33 H - wafat 110 H),
- Para Tabi'in kelompok muda (shighar at-tabi'in) yang kebanyakan meriwayatkan hadis dari para Tabi'in tertua, yang telah wafat sekitar tahun 125 H/742 M. Mereka seangkatan dengan Qatadah bin Da'amah (lahir 61 H - wafat 118 H) dan Ibnu Syihab az-Zuhri (lahir 58 H - wafat 124 H),
- Para Tabi'in kelompok termuda yang kemungkinan masih berjumpa dengan para Sahabat Nabi dan para Tabi'in tertua walau tidak meriwayatkan hadis dari Sahabat Nabi, yang telah wafat sekitar tahun 150 H/767 M. Mereka seangkatan dengan Sulaiman bin Mihran al-A'masy (lahir 61 H - wafat 148 H).
Mayoritas ulama penulis biografi
para periwayat hadis (asma ar-rijal) juga membagi para Tabi'in menjadi
tiga tingkatan berdasarkan Sahabat Nabi yang menjadi guru mereka, yaitu:[3]
- Para Tabi'in yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam sebelum peristiwa Fathu Makkah,
- Para Tabi'in yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam setelah peristiwa Fathu Makkah,
- Para Tabi'in yang menjadi murid para Sahabat yang belum berusia dewasa ketika Nabi Muhammad wafat.
Tokoh
Tabi'in
Di bawah ini adalah daftar beberapa
tokoh Tabi'in yang ternama:
- Abu Hanifah
- Al-Hasan al-Bashri
- Ali bin al-Husain Zainal Abidin
- 'Alqamah bin Qais an-Nakha'i
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq
- Ibnu Abi Mulaikah
- Muhammad bin al-Hanafiyah
- Muhammad bin Sirin
- Muhammad bin Syihab az-Zuhri
- Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab
- Said bin al-Musayyib
- Rabi'ah ar-Ra'yi
- Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud
- Umar bin Abdul Aziz
- Urwah bin az-Zubair
- Uwais al-Qarni
B.
THABAQAT
Thabaqat
menurut bahasa ialah suatu kaum yang memiliki kesamaan dalam suatu sifat.
Sedangkan menurut Muhadditsin ialah :
الطّبقة هي القوم المتعارضون اذا تشابهوا فى السّنّ وفى الاسناد (اي الاخذ عن المشايخ)
Thabaqah adalah suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan sanad, yakni pengambilan Hadits dari para guru.
الطّبقة هي القوم المتعارضون اذا تشابهوا فى السّنّ وفى الاسناد (اي الاخذ عن المشايخ)
Thabaqah adalah suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan sanad, yakni pengambilan Hadits dari para guru.
a. Seperti
halnya tarikh, thabaqat juga adalah bagian dari disiplin ilmu Hadits yang
berkenaan dengan keadaan perawi Hadits. Namun keadaan yang dimaksud dalam ilmu
thabaqat adalah keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan.
Adapun urusan yang dimaksud, antara
lain:
Bersamaan hidup dalam satu masa.
Bersamaan hidup dalam satu masa.
b. Bersamaan
tentang umur.
c. Bersamaan
tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya.
d. Bersamaan
tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya .
Kadangkala para Muhadditsin menganggap bahwa kebersamaan dalam menimba ilmu Hadits adalah cukup bisa dikatakan satu thabaqah. Sebab pada umumnya mereka memiliki kesamaan dalam umur.
Kadangkala para Muhadditsin menganggap bahwa kebersamaan dalam menimba ilmu Hadits adalah cukup bisa dikatakan satu thabaqah. Sebab pada umumnya mereka memiliki kesamaan dalam umur.
Peneliti dan pengamat
ilmu Hadits sangat dituntut untuk mengetahui tahun kelahiran dan kematian
setiap rawi, murid-muridnya, dan
guru-gurunya.
Kategoresasi bagi seorang rawi dalam suatu thabaqah bisa berbeda-beda, bergantung pada segi penilaian dan hal-hal yang mendasari kategorisasinya. Oleh karena itu, seringkali dua orang rawi dianggap berada dalam satu thabaqah karena memiliki kesamaan dalam satu segi, dan dianggap berada dalam thabaqah yang berlainan karena tidak memiliki kesamaan dalam segi lainya.
Anas bin Malik Al-Anshari beserta sahabat junior lain akan berada di bawah sekian thabaqah Abu Bakar dan sejumlah sahabat senior, bila dilihat dari segi waktu mereka masuk Islam, namun mereka dapat dianggap berada dalam satu thabaqah bila dilihat dari kesamaan mereka sebagai sahabat Nabi saw. Dengan demikian, seluruh sahabat adalah tabaqah rawi yang pertama, tabi’in menempati thabaqah kedua, atba’ al-tabi’in thabaqah yang ketiga, atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah keempat, dan atba’ atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini adalah thabaqah para rawi sampai turun ketiga, yakni akhir masa periwayatan .
Thabaqat juga bisa dijelaskan dengan pandangan-pandangan berikut:
Kategoresasi bagi seorang rawi dalam suatu thabaqah bisa berbeda-beda, bergantung pada segi penilaian dan hal-hal yang mendasari kategorisasinya. Oleh karena itu, seringkali dua orang rawi dianggap berada dalam satu thabaqah karena memiliki kesamaan dalam satu segi, dan dianggap berada dalam thabaqah yang berlainan karena tidak memiliki kesamaan dalam segi lainya.
Anas bin Malik Al-Anshari beserta sahabat junior lain akan berada di bawah sekian thabaqah Abu Bakar dan sejumlah sahabat senior, bila dilihat dari segi waktu mereka masuk Islam, namun mereka dapat dianggap berada dalam satu thabaqah bila dilihat dari kesamaan mereka sebagai sahabat Nabi saw. Dengan demikian, seluruh sahabat adalah tabaqah rawi yang pertama, tabi’in menempati thabaqah kedua, atba’ al-tabi’in thabaqah yang ketiga, atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah keempat, dan atba’ atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini adalah thabaqah para rawi sampai turun ketiga, yakni akhir masa periwayatan .
Thabaqat juga bisa dijelaskan dengan pandangan-pandangan berikut:
a)
Sahabat-sahabat, kalau kita pandang
sahabat-sahabat dari urusan persahabatan mereka dengan Nabi saw. saja, dengan
tidak memandang pada urusan lain, maka mereka itu semuanya teranggap satu
thabaqah.
b)
Sahabat ini juga, jika ditinjau dari
urusan atau hal lain, maka mereka dibagi menjadi 12 thabaqat:
• Thabaqah I :Sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal di Mekah, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
• Thabaqah II :Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum orang-orang Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah.
• Thabaqah III :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Habasyah, seperti: Utsman, Abu Hurairah, Utbah, dan lainnya.
• Thabaqah IV :Sahabat-sahabat yang ikut berbai’at di Aqabah yang pertama, seperti: Ubadah bin Shamit dan lainnya.
• Thabaqah V :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Aqabah yang kedua, seperti: Sa’ad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, Rafi bin Malik dan lainya.
• Thabaqah VI :Sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama sampai di Quba’, sebelum masuk Madinah.
• Thabaqah VII :Sahabat-sahabat yang terlibat dalam perang Badar, seperti: Abu Zaid, Ubadah bin Shamit, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah dan lainnya.
• Thabaqah VIII :Sahabat-sahabat yang hijrah ke Madinah.
• Thabqah IX :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Bait al-Ridwan di Hudaibiah, seperti: Salamah bin Akwa dan Abu Sinan al-Asadi.
• Thabaqah X :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Madinah sesudah perjanjian Hudaibiah, seperti: Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
• Thabaqah XI :Sahabat-sahabat yang masuk Islam di masa penaklukan Mekah, seperti: Harits bin Hisyam dan Utsman bin Amr.
• Thabaqah XII :Anak-anak yang melihat Nabi SAW pada hari penaklukan Mekah, pada hari Haji Wada’, dan lainnya.
c. Tabi’in, kalau dilihat dari urusan mereka sebagai pengikut sahabat-sahabat Nabi saw. dengan tidak memandang pada urusan atau hal lainnya, maka mereka adalah satu thabaqah.
• Thabaqah I :Sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal di Mekah, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
• Thabaqah II :Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum orang-orang Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah.
• Thabaqah III :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Habasyah, seperti: Utsman, Abu Hurairah, Utbah, dan lainnya.
• Thabaqah IV :Sahabat-sahabat yang ikut berbai’at di Aqabah yang pertama, seperti: Ubadah bin Shamit dan lainnya.
• Thabaqah V :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Aqabah yang kedua, seperti: Sa’ad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, Rafi bin Malik dan lainya.
• Thabaqah VI :Sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama sampai di Quba’, sebelum masuk Madinah.
• Thabaqah VII :Sahabat-sahabat yang terlibat dalam perang Badar, seperti: Abu Zaid, Ubadah bin Shamit, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah dan lainnya.
• Thabaqah VIII :Sahabat-sahabat yang hijrah ke Madinah.
• Thabqah IX :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Bait al-Ridwan di Hudaibiah, seperti: Salamah bin Akwa dan Abu Sinan al-Asadi.
• Thabaqah X :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Madinah sesudah perjanjian Hudaibiah, seperti: Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
• Thabaqah XI :Sahabat-sahabat yang masuk Islam di masa penaklukan Mekah, seperti: Harits bin Hisyam dan Utsman bin Amr.
• Thabaqah XII :Anak-anak yang melihat Nabi SAW pada hari penaklukan Mekah, pada hari Haji Wada’, dan lainnya.
c. Tabi’in, kalau dilihat dari urusan mereka sebagai pengikut sahabat-sahabat Nabi saw. dengan tidak memandang pada urusan atau hal lainnya, maka mereka adalah satu thabaqah.
Tabi'in adalah jamak dari kata tabi'i
atau tabi' yang berarti mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah
Tabi'in adalah sebagai berikut :
Adalah
orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat dan mati dalam beragama islam.
Jumlah tabi'in tidak terhitung karena setiap orang muslim
yang bertemu dengan seorang shahabat disebut tabi'in padahal shahabat yang
ditinggalkan oleh rasulullah lebih dari seratus ribu orang. Para ulama juga
berbeda dalam membagi thabaqat tabi'in tergantung dari segi tinjauan yang
mereka pakai. Imam muslim misalnya membaginya kedalam tiga thabaqat, Ibn Sa'd
membaginya 4 thabaqat, dan al-Hakim lebih banyak lagi yakni membaginya kedalam
15 thabaqat yang pertama adalah
orang yang bertemu dengan 10 orang yang digembirakan dengan surga. Para ulama sepakat bahwa akhir masa
tabi’in pada tahun 150 H dan akhir masa tabi’ tabi’in adalah 220 H. Tabi’in
terakhir yang bertemu Abu Ath-Thufail Amir bin Watsilah di Mekah adalah Khalaf
bin Khalifah (w. 181 H).[1][10]
Satu-satunya tabi'in yang berjumpa dengan 10 shahabat ahli
surga itu ialah Qais bin Abi Hazim. Ibnu's-Shalah berkata bahwa Qais mendengar
hadits dari 10 shahabat ahli surga tersebut dan meriwayatkannya. Tidak ada
seorangpun tabi'ain yang meriwayatkan hadits dari 10 shahabat ahli surga,
selain ia sendiri.
Menurut Hakim Abu Abdillah An-Naisabuy, selain Qais masih
banyak tabi'in yang meiwayatkan dari shahabt sepuluh, seperti Utsman An-Nahdy,
Qais bin Ubbad, Husain bin Al-Mundzir, Abi Wa'il dan Ibnu'l-Musayyab. Untuk
yang terakhir ini banyak mendapat tantangan, disebabkan Ibnu'l-Musayyab itu
baru dilahirkan pada waktu Khalifah Umar bin Khaththab menjabat Khalifah,.
Dengan demikian sudah barang tentu ia tidak pernah bertemu dengan 10 shahabat
yang telah wafat sebelum penobatan Umar bin Khaththab.
Thabaqat terakhir, ialah mereka yang bertemu
dengan Anas bin Malik, untuk yang berdiam di Bashrah, bertemu dengan Saib bin
Yazid bagi mereka yang bertempat tinggal di Madinah, berjumpa dengan Abu Umamah
bin 'Ajlan al-Bahily bagi mereka yang berdiam di Syam, bertemu dengan Abdullah
bin Abi Aufa bagi mereka yang berdiam di Hijaz, dan berjumpa dengan Abu Thufail
bagi mereka yang berdiam di Makkah.[2][11]
Dari segi masa hidupnya tabiin dapat dibagi menjadi tiga
kategori (tingkatan), yaitu :
a.
Kibar at-tabi’ỉn (tabiin
besar), yaitu tabiin yang hidup s ebelum akhir
abad pertama, seperti Ibrahim bin Yazid an -
Nakha’i (w. 95 H) dan Sa’id bin Musayyab
(15-94 H).
b.
Ausat at tabi’in (tabi’in
pertengahan), yaitu tabiin yang hidup antara awal dan
pertengahan abad kedua, seperti Nafi Maula bin Amr (w.117H).
c.
Sigar at tabiin (tabiin
kecil) yaitu tabiin yang hidup sampai akhir abad kedua
seperti Imam Asy Syafi’i.[3][12]
Di antara tabi’in yang paling utama menurut penduduk Madinah
adalah Sa’id bin Al-Musayyah, menurut penduduk Kufah adalah Uways Al-Qarni, dan
menurut penduduk Bashrah adalah Al-Hasan Al-Bashri.
Di antara mereka ada yang digolongkan mukhadramin (bentuk
jamak) atau mukhadram adalah orang yang mendapati masa Jahiliyah dan masa Nabi,
beriman kepada Nabi tetapi tidak melihatnya. Seperti Abu Raja’ Al-Utharidi,
Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman An-Nahdi, dan Al-Aswad bin Yazid An-Nukha’i.
Imam Muslim menghitung 20 orang, tetapi menurut pendapat yang shahih lebih dari
20 orang.[4][13]
Menurut Al-Hakim masa
Thabaqat tabi’in berakhir setelah orang yang bertemu Sahabat terakhir meninggal
dunia. Jadi, tabi’in terakhir ialah orang yang bertemu dengan Abu Thufail di
Mekah dll.Khalaf bin Khalifah yang wafat pada tahun 181 H dianggap sebagai
tabi’in yang terakhir yang meninggal dunia. Karena di Mekah ia bertemu dengan
seorang Sahabat yang palling akhir wafat, yaitu Abu Thufail Amir bin Watsilah.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa pariode tabi’in berakhir 181 H.
Kitab-Kitab Thabaqah
1. At-Thabaqatu’l-Kubra
karya Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ Al-Hafidh Katib Al-Waqidy (168-230 H).
2. Thabaqatu’r-Ruwah karya
Al-Hafizh Abu ‘Amr Khalifah bin Khayyath Asy-Syaibani (240 H).
3. Thabaqatu’t-Tabi’in
karya Imam Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairy (204-261 H).
4. Thabaqatu’l-Muhadditsin
war Ruwah karya Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al-Ashbihany (336-430
H).
5. Thabaqatu’l-Hufazh
karya Al-Hafizh Syamsuddin Adz-Dzahaby (673-748 H).
6. Thabaqatu’l-Hufazh
karya Jalaluddin As-Suyuthy (849-911 H).[5][15]
BAB
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya
periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan
yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para
sahabat yang menjadi guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapai
mereka agak berbeda dengan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang
dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Di pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka.
DAFTAR PUSTAKA
[6][1] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al Ma’arif, 1974), h. 301.
[7][2] A. Qadir Hasan, Ilmu
Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1987), h. 391.
[8][3] Op.cit, Fatchur Rahman, h. 301.
[9][4] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadits, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 109-110.
[10][5] Op.cit, Fatchur Rahman, h.
304-305.
[11][6] Op.cit Abdul Majid Khon, h. 110.
[12][7] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 79.
http://dhiandif.blogspot.com/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[13][8] Op.cit, Abdul Majid Khon, h.
111-112.
[14][9] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, tt), h 271-273.
[15][10] Op.cit, Abdul Majid Khon, h.
113
[16][11]
[17][12] http://kkgpaigarutkota.blogspot.com/2011/09/makalah-ulumul-hadis.html, diakses 29 April 2013,
pukul 08.08. (terdapat foot note).
[18][13] Op.cit, Abdul Majid Khon, h.
113-114.
[19][14] http://ricojunandaputra.blogspot.com/2011/03/thabaqat-pararawi.html, diakses 29 April 2013, pukul
07.56.
[20][15] Op.cit, Fatchur Rahman, h.
305-306.
http://ahmadfauzanelwahidi.blogspot.com/2011/05/thobaqot.html, diakses 29 April 2013,
pukul 07.48. (terdapat foot note).
No comments:
Post a Comment