Wednesday, February 6, 2019

PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA


Bismillaahirrahmaanirrahim…
Puji syukur Alhamdulillah, selalu kami haturkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang dengannya kita mendapat rahmat, nikmat, serta hidayah dan inayah-Nya, sehingga dapat melaksanakan fungsi kita di muka bumi ini sebagai kholifah Allah dengan husnul khatimah. Sholawat beserta beriring salam senantiasa  tetap tercurahkan kapada Nabi Muhammad SAW. Makhluk Allah yang datang untuk membimbing kita menuju ke jalan yang diridhainya  dan patut menjadi tauladan ummat Islam hingga akhir zaman.
Rasa syukur yang tak terhingga, atas  petunjuk dan pertolongan Allah SWT. Kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini, walaupun didalam-Nya masih terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan, yang mana hal itu memang benar-benar bersumber dari kelemahan penulis. Semoga makalah yang berjudul “Munculnya Perbedaan Pendapat Dalam Fiqh” ini dapat menambah wawasan baru dalam bidang keilmuan kami serta pembaca pada umumnya. Kritik dan saran selalu kami harapkan sebagai bumbu agar bisa lebih maju dan juga demi memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, karena kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Selanjutnya ucapan terima kasih tak lupa kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu kami yang tidak mungkin kami tulis satu persatu, kami ucapkan terima kasih banyak semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas apa yang kalian perbuat. Khususnya kepada:
1.      Imam Sucipto, M.Ag, Selaku Dosen Mata Pelajaran Pengantar Fiqih Dan Muamalah.
2.      Teman-teman Se-Perjuangan. Khususnya kelas Ekonomi Syari’ah Weekend
Akhirnya, semoga amal baik yang telah kita lakukan mendapat pahala di sisinya, segala urusan dan perkara kita kembalikan kepada Allah, semoga makalah ini bermanfaat dan memberikan tambahan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan, Amin…….


DAFTAR ISI








 



BAB I
A.  Latar Belakang
Perbedaan pendapat mengenai fiqih pada para ulama memang telah menjadi perbincangan dari masa ke masa, ditambah dengan masa sekarang yang mana sejarah fiqih islam sangat penting. Kenapa tidak ? jawabannya karena suatu perkembangan ataupun pertumbuhan pada fiqih itu sendiri menunjukkan dinamika keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernnisasi.
Di lain pihak, perubahan dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan susunan bagi pemikiran Islam. Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum.
Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui. Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadits:
اختلاف أمتى رحـمة
Artinya: “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat ” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Dalam hadits di atas itu berarti manusia memiliki kebebasan untuk memilih suatu pendapat dari banyaknya pendapat dan tidak terpaku pada satu pendapat saja.

B.  Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah pada sasaran yang tepat, maka peneliti perlu merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Apa Pengertian dan Sebab-sebab terjadinya Perbedaan Pendapat Para Ulama ?
2.    Apa Pengaruh Perbedaan Pendapat Para Ulama ?
3.    Apa Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama?


C.  Tujuan Penelitian
Sesuai dengan Rumusan Masalah di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai peneliti, yaitu sebagai berikut:
1.    Ingin mengetahui Pengertian dan Sebab-sebab terjadinya Perbedaan Pendapat Para Ulama.
2.    Ingin mengetahui Pengaruh Perbedaan Pendapat Para Ulama.
3.    Ingin Mengetahui Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama.








BAB II
1.    Pengertian dan Sejarah
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan Pendapat. Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan. Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu masalah tertentu, baik berlainan dalam bentuk tidak sama atau pun bertentangan.
Perbedaan pendapat yang dimaksud adalah perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama’ mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan. Oleh karena itu perlu ditegaskan disini, bahwa yang dimaksud dengan ikhtilaf yang ditoleransi itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan atau kontroversi dalam bidang agama yang secara nyata terjadi diantara kelompok-kelompok dan golongan-golongan umat di masyarakat ini.
Faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian kalangan yang dikenal ulama sekalipun, yang sudah termasuk kategori masalah ushul dan bukan masalah furu’ lagi.
Fenomena perbedaan pendapat dari masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf dan merupakan realita yang diakui, diterima, dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapan pun karena sebab-sebab yang melatar belakangi akan tetap ada, bahkan semakin bertambah banyak. 
Jadi ikhtilaf di sini adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam),  perbedaan pemahaman dalam menetapkan hukum suatu masalah dan laian-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukahaq tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan lain-lain.
Perjalanan sejarah fiqih Islam, dikenal beberapa mazhab fiqih. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqih ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah terdiri atas empat mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang yaitu, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Sejarah mencatat terdapat enam fase dari perkembangan fiqih yaitu :
a.    Fiqih pada era kenabian, merupakan ‘asru al-tasyri’ (masa turunnya syariat).
b.    Era al-Khulafa al-Rasyidun, pada periode ini fiqih masih tetap seperti periode pertama (era kenabian) meskipun telah meluasnya wilayah Islam dan bercampurnya orang–orang Arab dengan orang–orang asing turut menghadirkan tuntutan bagi perkembangan kajian fiqih. Sehingga mulailah terjadi dari sahabat dalam memahami nas. Dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw. pada tahun 11 Hijriyah dan berakhir ketika Muawiyah bin Abu Sofyan menjabat sebagi khalifah pada tahun 41 Hijriyah.
c.    Periode ketiga adalah fiqih dalam era al-Sahabah dan tabi’in. perluasan wilayah Islam dengan sendirinya menjadikan para fukaha tersebar di seluruh daerah yang telah dibuka sehingga memberikan pengaruh tersendiri pada perkembangan fiqih. Di antara pengaruh itu yang terpenting adalah munculnya dua kecenderungan ahli Hijaz di Madinah dan ahli ra’yu di Irak, dimana keduanya sama mengkaji fiqih dengan metodenya yang khusus. Dimulai tahun 41 Hijriyah dan berakhir hingga awal abad kedua hijriyah.
d.    Periode keempat adalah Fiqih pada era keemasan yang ditandai dengan perkembangan gerakan ilmiah dan kodifikasi ilmu dalam Islam, mencapai puncaknya dengan munculnya empat mazhab fiqih dalam Islam yang hingga kini tetap menjadi kerangka rujukan umat Islam. Di masa ini pula mulai dirintis penulisan tafsir, hadis, fiqih dan usul fiqih.
e.    Periode kelima adalah fiqih dalam era jumud dan stagnasi. Lemahnya kekuasaan kaum muslimin dan terpecah–pecahnya kekuatan mereka banyak mempengaruhi kemacetan dan kejumudan fiqih. Pada periode ini muncul fatwa ulama yang terkenal bahwa “pintu ijtihad telah ditutup” dan terjadilah fanatisme yang berlebihan terhadap mazhab–mazhab tertentu.
f.     Periode keenam adalah fiqih dalam era kebangkitan kembali dimulai sekitar abad ke 13 Hijriyah hingga sekarang ini yang ditandai dengan menipisnya fanatisme mazhab dan adanya usaha keras fukaha dan mujtahid untuk menghidupkan kembali kajian fiqih.
2.    Sebab-sebab terjadinya Perbedaan Pendapat Para Ulama
Perbedaan, pro dan kontra akan selalu muncul dalam dinamika kehidupan. Oleh karena itu perbedaan merupakan sesuatu yang niscaya bagi kita, takkan pernah bisa menghindarinya. Allah SWT. Berfirman :
.........وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
Artinya: “.......Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al-Ma’idah 5: 48)
Perbedaan pendapat dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi kita. Perbedaan akan memperkaya pengetahuan kita. Hal ini telah dibuktikan oleh ulama’-ulama’ terdahulu, seperti para imam madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali, semoga Allah merahmati mereka.
Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati dari pada hal-hal lain di mana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
اَلْخُرُوْجُ منَ الْخلَاف مُسْتَحَبٌ
Keluar dari perbedaan pendapat itu adalah disenangi.”
اَالْمُتَفَقُ عَلَيْه مُقَدمٌ عَلَى الْمُخْتَلَف فيْه
“Apa yang disepakati didahulukan dari pada hal-hal di mana para ulama berbeda pendapat.”




Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah :
1.    Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Seperti lafal Musytarak, makna haqiqat (sesungguhnya) atau majaz (kiasan). Dan lain-lainnya. Contoh mengenal kata Musytarak. Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti musytarak yaitu   يسقط (menggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami.
Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:
وَإِن طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدۡ فَرَضۡتُمۡ لَهُنَّ فَرِيضَةٗ فَنِصۡفُ مَا فَرَضۡتُمۡ إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٣٧
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”. ( QS. Al-Baqarah: 237)
2.    Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadits. Ada Hadits yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Kalau Hadits tersebut diketahui oleh semua ulama, sering terjadi sebagian ulama menerimanya sebagai Hadits shahih, sedang yang lain menganggap dha’if.
3.    Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah ushul. Misalnya ada ulama yang berpendapat bahwa lafal am  yang sudah di takhsis itu bisa dijadikan hujjah. Demikian pula ada yang berpendapat segala macam mafhum tidak bisa dijadikan hujjah. Ulama-ulama yang berpendapat bahwa mafhum itu adalah hujjah, kemudian berbeda lagi tanggapannya terhadap mafhum mukhalafah.
4.    Berbeda tanggapannya dengan ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil yang lain). Seperti: tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu Ushul Fiqh.
5.    Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Shahihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda pendapat tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat, dan lain-lainnya yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi penerapannya berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya tentang Qiyas: Jumhur Ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bisa digunakan.
Dari keterangan di atas jelas bahwa perbedaan pendapat para ulama itu pada prinsipnya disebabkan karena berbeda dalam cara berijtihad. Berbeda dalam berjtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil berijtihad. Disamping itu sering pula terjadi perbedaan pendapat akibat lingkungan dalam ulama tersebut hidup. Seperti Qoul Qodim dan Qoul Jadid dari imam al-syafi’i. Qoul Qodim merupakan hasil ijtihad imam al-syafi’i ketika beliau hidup di bagdad. Sedangkan Qoul Jadid merupakan hasil ijtihad imam al-ijtihad ketika beliau hidup di mesir. Imam Abu Hanifah dihadapkan kepada masyarakat yang lebih maju peradabannya di Irak, sehingga di tuntut untuk berpikir secara lebih rasional. Akibatnya, rasionalitas lebih mewarnai mazhab Madinah, tempat Nabi berjuang dan membangun umatnya, sehingga beliau di tuntut untuk lebih mengikuti dan mempertahankan Ahli Madinah. Hal inilah yang menyebabkan Mazhab Maliki lebih bernuansa tradisional.
Perlu ditekankan disini bahwa disamping perbedaan pendapat banyak pula masalah yang disepakati  ulama, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan dalil kulli ataupun dalil juz’i. Seperti wajib melaksanakan sholat lima waktu, puasa bulan ramadhan, menunaikan zakat, naik haji bagi yang mampu, wajib melaksanakan keadilan, melaksanakan amanat, wajib memelihara ukhuwah, musyawarah, dan lain-lainnya. Haram melakukan pencurian, perampokan, pembunuhan, zina, minum khomer, menuduh zina, menghina orang, melakukan riba, menipu dalam timbangan dan sukatan, menjadi saksi palsu, dan lain sebagainya.






B.  Pengaruh Perbedaan Para Ulama
Perbedaan pendapat ini sudah terjadi pada masa nabi, hanya saja pada zaman Nabi apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat ada yang memberikan keputusan akhir yaitu Nabi sendiri. Dengan demikian, perbedaan pendapat dapat terselesaikan. Umat mengikuti keputusan Nabi ini. Pada zaman sahabat, terutama pada zaman Khulafa al-Rasyidin, untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umat selalu dimusyawarakan oleh Khalifah dengan anggota-anggota majlis permusyawaratan. Keputusan musyawarah ini menjadi pegangan umat.
Perbedaan pendapat dalam masalah lainnya yang tidak langsung berkaitan dengan kepentingan umat. Perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqh ini tidak memberikan pengaruh yang negatif sampai ke zaman Imam-Imam mujtahidin.  Mereka tahu pasti dimana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan dimana harus terjadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain. Imam Syafe’i menghargai pendapat Imam Malik dan Imam Malik juga menghargai pendapat Abu Hanifah.
Namun, setelah orang fanatik kepada satu madzhab atau kepada satu pendapat ulama, maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Melampaui batas-batas yang harus di pegang bersama, merusak persatuan dan kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW. Prof. Hasbi menyatakan: “Apabila kita perhatikan keadaan masyarakat Islam dewasa ini dan sebabnya mereka bergolong-golongan ditinjau dari segi hukum Islam niscaya nyatalah bahwa diantara sebab-sebab itu ialah perbedaan pegangan, perbedaan anutan, dan perbedaan ikutan. Dan untunglah di tanah air kita indonesia ini pengaruh perbedaan anutan dan golongan tidaklah meruncing, jika dibandingkan dengan keadaan di luar negeri seperti india, persia dan lain-lain.” Pengaruh negatif dari perbedaan pendapat ini dapat dinetralisasi dengan pendidikan yang meluaskan wawasan berfikir tentang hukum islam. Antara lain dengan cara muqaranah al-madzahib dan membaca kitab-kitab Imam Madzhab”.



Dalam menyikapi perbedaan terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu sebagai berikut :
1.    Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal, dan akhlaq secara proporsional karena memadukan semua itu akan sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat, dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2.    Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar umat, dari pada perhatian terhadap masalah-masalah kecil, seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap maslah khilafiyah yang ada.
3.    Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat. Ini adalah bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf) karena begitulah sikap mereka yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlu-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dalam konteks ini perlu diingatkan, bahwa nash (teks) ungkapan yang selama ini dikenal luas sebagai hadits yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatun (perselisihan umatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi SAW. Karenanya bukanlah “hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi umat. Namun, dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Umat dalam Perbedaan Pendapat Para Imam).
4.    Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Selama ini, sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, lebih dominan timpangnya. Biasanya, mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan sekaligus tidak mewarisi cara, adab, dan etika mereka dalam berikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5.    Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajin (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama’ maupun para penuntut ilmu syar’i. Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah mengikuti tanpa mengetahui dalilnya yang intinya para imam yang diakui. Yang terpenting dalam mengikuti siapa saja adalah ketulusan dan keikhlasan serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
6.    Untuk praktik pribadi, dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka tiap-tiap orang berhak untuk mengikuti dan mengamalkan pendapat atau madzhab yang kuat menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondidi yang afdhal, jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah “al-khuruj minal khilaf mustahab” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7.    Sementara itu, terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan tiap-tiap dari kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi. Dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan kita masing-masing. Kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan, dan keumatan adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab yang lemahsekalipun menurut kita.
8.    Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i, sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)
9.    Mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10.    Menjaga agar ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati sehingga berubah menjadi perselisihan perpecahanyang akan merusak ukhuwah dan melemahkan rasa kepercayaan di antara sesama kaum mukminin.
Berikut ini beberapa pelajaran dan teladan dari Ulama Salaf yang harus kita ketahui :
1.    Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Anshari Rahimahullah berkata, “Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dan keleluasaan sikap, di mana para mufti selalu saja berbeda pendapat sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan juga ada yang mengharamkan. Namun tidak saling mencela satu sama lain.” (Tadzkiratul Huffadz: 1/139 dan Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlih 393)
2.    Ulama Salaf (salah satunya adalah Al-Imam As-Syafi’i Rahimahullah) berkata, “Pendapatku, menurutku adalah benar tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain menurutku adalah salah namun ada kemungkinan benar.”
3.    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikit pun ikatan ukhuwah di antara kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa:24/173)
4.    Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata, “Dalam Masalah-masalah yang di perselisihkan diantara para ulama fiqh, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih: 2/69)
5.    Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu’. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang. “Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab, “Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyid Rahimahullah dan Imam Malik bin Anas Rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat, bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu’ lagi).” (Majmu’ Al-Fatawa: 20/364-366)
6.    Imam Abu Hanifah Rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surat Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di kota Madinah yang berMadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah  sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras ... (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi: 109)  
C.  Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama
Perbedaan pendapat ini tidak akan mengakibatkan pengaruh yang negatif. Bahkan Dengan berfikir kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para ulama, maka perbedaan pendapat itu bisa memberikan hikmah yang besar. Berikut ini beberapah hikmah yang terkandung di dalamnya :
1.    Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkinkan untuk memilih mana alternatif yang terbaik diantara pendapat para ulama yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini. Cara inilah yang sedang ditempuh para ahli hukum islam. Sekarang seperti terbukti dalam perkembangan hukum islam terakhir.
2.    Kita akan mengetahui alasan masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut, sehingga memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai alasan yang lebih kuat. Melihat cara pengambilan istinbat akan tampak mana pendapat-pendapat yang lebih banyak meraih nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
Kita melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan ijtihad, maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat. Sebab ijtihad mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama. Dengan demikian berarti dituntut untuk bersikap toleran terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat.
Kenyataan lain adalah umat islam pada umumnya yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat ulama, baik dengan cara ittiba’ maupun taklid. Ini bisa dipahami karena umat islam yang awam mempunyai i’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama. Yang tahu ajaran agama itu adalah ulama (Ahli Agama). Maka dengan iktikad baiknya itu merasa mengikuti salah seorang ulama. Apalagi mereka sering mendengar “Al-Ulama waratsat Al-Anbiya’” para ulama itu adalah ahli waris para Nabi. Oleh karena itu, kedudukan para ulama sangat tinggi di mata mereka. Fatwa ulama pada pandangan mereka sama dengan fungsi dalil pada pandangan mujtahid. Hal ini tampak dari ungkapan: Qaul al-mufi fi haqq al-‘am ka al-adilla fi haqq al-mujtahid.
Sekalipun keharusan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sudah lama dikumandangkan, dan disepakati oleh seluruh Imam madzhab, tetapi tampaknya belum ada model thuruq al-istinbat yang baru. Akibatnya, sering terjadi adanya pendapat baru, tetapi jika diteliti ternyata telah ada. Mungkin, ditemukan pada madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali, Dhahiri, Syi’i, atau ulama lainnya (Al-Tharabi, Abu Tsawr, Laits bin Sa’ad, dan lain-lain).
Cara beristinbat untuk masalah baru ternyata sama dengan salah satu Imam Madzhab. Dhahiri menekankan pada dhahir nash, sedangkan Maliki dan Hanafi lebih menekankan pada kemaslahatan dan semangat ajaran. Metode-metode lainnya dalam metode ilmu Ushul Fiqh.
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan  manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut, yaitu :
a.    Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
b.    Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
c.    Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermu’amalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan di sekitar mereka.
Akhirnya dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah wajar dalam masalah-masalah ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan ukhuwah islamiyah. Perbedaan pendapat menjadi tidak wajar apabila menjurus kepada perselisihan dan permusuhan, serta melampaui batas-batas kulli.









1.  Pengertian dan Sebab-sebab terjadinya Perbedaan Pendapat Para Ulama.
A. Pengertian dan Sejarah
Perbedaan pendapat yang dimaksud adalah perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama’ mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan.
Sejarah mencatat terdapat enam fase dari perkembangan fiqih yaitu :
1)   Fiqih pada era kenabian.
2)   Era al-Khulafa al-Rasyidun.
3)   Periode ketiga adalah fiqih dalam era sigar al-sahabah dan tabi’in.
4)   Periode keempat adalah Fiqih pada era keemasan yang ditandai dengan perkembangan gerakan ilmiah dan kodifikasi ilmu dalam Islam.
5)   Periode kelima adalah fiqih dalam era jumud dan stagnasi.
6)   Periode keenam adalah fiqih dalam era kebangkitan kembali dimulai sekitar abad ke 13 Hijriyah hingga sekarang.
B.  Sebab-sebab terjadinya perbedaan Pendapat Para Ulama
1)   Berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata.
2)   Berbeda tanggapan terhadap Hadits.
3)   Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul.
4)   Berbeda tanggapan tentang ta’arud dan tarjih.
5)   Berbeda pendapat dalam menentukan dalil ijtihadi.

2.    Pengaruh Perbedaan Para Ulama
Tidak memberikan pengaruh yang negatif.
Menyikapi perbedaan terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh
a.    Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya.
b.    Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar umat.
c.    Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat.
d.    Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf.
e.    Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya.
f.     Untuk praktik pribadi.
g.    Dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan tiap-tiap dari kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi.
h.    Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem).
i.      Mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan.
j.      Menjaga agar ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah.
Berikut ini beberapa pelajaran dan teladan dari Ulama Salaf:
a.    Imam Yahya bin Sa’id Al-Anshari.
b.    Imam As-Syafi’i.
c.    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
d.    Imam Sufyan Ats-Tsauri.
e.    Imam Ahmad bin Hambal.
f.     Imam Abu Hanifah.
3.    Hikmah Perbedaan Para Ulama
a.    Memiliki sejumlah besar hasil ijtihad.
b.    Mengetahui alasan masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut.
Manfaatnya sebagai berikut:
a.    Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama.
b.    Digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
c.    Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara.















DAFTAR PUSTAKA

Anshori Fauzan. 2015. Makalah: Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Hukum Islam. IDIA Al-Amien Prenduan.
Fathurrohman, Amiruddin. 2016. Pengantar Ilmu Fiqih. Bandung: PT Refika Aditama.
A.    Jazuli. 2013. Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
















MAKALAH MUNCULNYA PERBEDAAN PENDAPAT DALAM FIQH
Dosen Pengampu : Imam Sucipto, M.Ag
Mata Kuliah : Pengantar Fiqh Muamalah


Anggota Kelompok 5 :
1.      Restiana Nur Septiyani
2.      Fahad Riyadi
3.      Nazmah
4.      Yane Rifana .A


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARI’AH INDONESIA
Jl. Veteran No. 150 Ciseureuh, Kec. Purwakarta Kab. Purwakarta, Jawa Barat
41118
2018










No comments:

Post a Comment